Pertanyaan :
Jerat Hukum Penganiaya Binatang
Saya awam, saya hanya melihat
sebatas kulitnya saja. Menurut saya, sampai sejauh ini saya melihat pasal 302
sepertinya hanya menjadi pelengkap saja di KUHP, tidak ada tindakan nyata.
Sekali lagi, ini menurut saya. Pertanyaannya, selain pasal 302 KUHP ini adakah
pasal lain yang mengatur tentang satwa dan bagaimana penerapannya? Bisakah saya
menuntut orang yang melakukan penganiayaan satwa dan bisakah saya mengambil
alih hewan tersebut jika hewan tersebut menderita/stress/sekarat? Mohon
bantuannya. Maaf jika sedikit membingungkan. Terima kasih banyak.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum
menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya agar jelas kita menyimak terlebih dahulu
bunyi Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“(1) Diancam dengan pidana penjara
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan
1. barang
siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja
menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;
2. barang
siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk
mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk
hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada
di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan
sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya,
atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan
hewan.
(3) Jika hewan itu milik yang
bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
(4) Percobaan melakukan kejahatan
tersebut tidak dipidana.”
Menurut R. Soesilo dalam
bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang
dimaksud dalam ayat (1) ialah kejahatan penganiayaan enteng pada binatang.
Untuk itu harus dibuktikan bahwa:
Sub 1:
- orang itu sengaja menyakiti, melukai, atau merusakkan kesehatan binatang
- perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan
Sub 2:
- sengaja tidak memberi makan atau minum kepada binatang
- binatang itu sama sekali atau sebagian menjadi kepunyaan orang itu atau di dalam penjagaannya atau harus dipeliharanya
- perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan
Soesilo juga menambahkan, perbuatan
seperti memotong ekor dan kuping anjing supaya keliahatan bagus, mengebiri
binatang dengan maksud baik yang tertentu, mengajar binatang dengan memakai
daya upaya sedikit menyakiti pada binatang untuk circus, mempergunakan
macam-macam binatang untuk percobaan dalam ilmu kedokteran (vivisectie) dsb.
itu pada umumnya diizinkan (tidak dikenakan pasal ini), asal saja dilakukan
dengan maksud yang patut atau tidak melewati batas yang diizinkan. Tentang hal
ini bagi tiap-tiap perkara harus ditinjau sendiri-sendiri dan keputusan
terletak kepada hakim. Namun jika perbuatan tersebut mengakibatkan hal-hal yang
tersebut dalam ayat (2), maka kejahatan itu disebut “penganiayaan binatang” dan
diancam hukuman lebih berat.
Dari penjelasan R. Soesilo tersebut,
dapat kita ketahui bahwa hewan yang dimaksud dalam KUHP adalah hewan pada
umumnya, dalam arti bukan hewan/satwa yang dilindungi oleh negara. Dalam cerita
Anda, Anda tidak menjelaskan mengenai hewan apa yang dimaksud. Oleh karena itu,
kami perlu membuat asumsi bahwa hewan tersebut bukanlah hewan yang dilindungi
oleh negara seperti yang dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”) beserta lampirannya.
Jika memang hewan tersebut bukan
hewan yang dilindungi negara, maka pada dasarnya undang-undang di Indonesia
mewajibkan setiap orang untuk melakukan pemeliharaan, pengamanan, perawatan,
dan pengayoman hewan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar
dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan
tertekan, demikian bunyi Pasal 66 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan (“UU 18/2009”).
Berpedoman pada bunyi Pasal 66 ayat
(2) UU 18/2009 itu, maka jika memang hewan tersebut adalah bukan hewan yang
dilindungi oleh negara, Anda dapat memelihara hewan tersebut jika ia menderita
stress atau sekarat seperti dalam cerita Anda. Jadi, Anda perlu melihat lagi
apakah hewan tersebut merupakan satwa yang dilindungi atau tidak karena tidak
semua orang dapat begitu saja mengambil alih dalam merawat atau memelihara
satwa yang dilindungi tersebut. Selain itu, perlu diperhatikan pula bagaimana
prosedur pengangkatan/adopsi hewan jika memang hewan yang mau Anda ambil alih
pemeliharaannya itu adalah hewan milik orang lain sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menjawab pertanyaan Anda yang
lainnya mengenai tindakan nyata dalam penerapan pasal ini, kita dapat melihat
kasus yang terdapat pada Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 215K/Pid/2005.
Dalam putusan ini disebutkan bahwa terdakwa menggantung dan mengikat kencang
leher seekor sapi ke sebuah pohon coklat hingga sapi tersebut mati. Perbuatan
terdakwa diancam sesuai Pasal 302 ayat (2) KUHP. Namun fakta yang
terungkap di persidangan adalah perbuatan terdakwa
diluar kemampuannya karena terdakwa adalah orang kurang waras sehingga tidak
mampu berpikir secara baik sehingga Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan
bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana tetapi oleh karena terdakwa adalah orang kurang waras, maka
sesuai ketentuan Pasal 44 KUHP tidak dapat dijatuhi
pidana tetapi terdakwa dilepas dari tuntutan hukum (lebih lanjut mengenai
penerapan Pasal 44 KUHP ini, Anda bisa menyimak artikel Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?)
Melihat kasus tersebut,
maka dapat kita simpulkan bahwa penegakan hukum Pasal 302 KUHP dilaksanakan
oleh penegak hukum. Jadi, hal ini kiranya cukup untuk menepis anggapan Anda
bahwa Pasal 302 “hanya menjadi pelengkap saja di KUHP.” Pasal 302 KUHP
bukanlah hanya sebagai pelengkap saja, melainkan juga merupakan pedoman dalam
memperlakukan hewan secara wajar.
Terkait dengan pertanyaan Anda
lainnya tentang apakah ada aturan di luar KUHP yang juga mengatur
mengenai satwa, mengenai hal ini kita dapat melihat ketentuan dalam Pasal 66
ayat (1) UU 18/2009, yang berbunyi:
“Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan
yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan;
pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta
perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.”
Kepentingan kesejahteraan hewan yang
dimaksud dalam pasal tersebut salah satunya meliputi (lihat Pasal 66 ayat
[2] huruf c UU 18/2009):
“Pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan
dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus,
rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;”
Dalam Penjelasan Pasal 66 ayat
[2] huruf c UU 18/2009 disebutkan:
Yang dimaksud dengan “penganiayaan” adalah tindakan untuk
memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memperlakukan hewan
di luar batas kemampuan biologis dan fisiologis hewan, misalnya pengglonggongan
sapi.
Yang dimaksud dengan
“penyalahgunaan” adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan
dari hewan dengan memperlakukan hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai
dengan peruntukan atau kegunaan hewan tersebut, misalnya pencabutan kuku
kucing.
Peraturan lainnya mengenai perlakuan
hewan secara wajar juga diatur lebih khusus dalam Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan (“UU 95/2012”) yang
berbunyi:
“Setiap
orang dilarang untuk:
a. menggunakan
dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan kodratnya yang dapat berpengaruh
terhadap kesehatan, keselamatan, atau menyebabkan kematian Hewan;
b. memberikan
bahan pemacu atau perangsang fungsi kerja organ Hewan di luar batas fisiologis
normal yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau menyebabkan
kematian Hewan;
c. menerapkan
bioteknologi modern untuk menghasilkan Hewan atau produk Hewan transgenik yang
membahayakan kelestarian sumber daya Hewan, keselamatan dan ketenteraman bathin
masyarakat, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
d. memanfaatkan
kekuatan fisik Hewan di luar batas kemampuannya; dan
e. memanfaatkan
bagian tubuh atau organ Hewan untuk tujuan selain medis.”
Dari beberapa peraturan yang kami
sebutkan di atas yang pada umumnya mengatur mengenai hewan yang tidak
dilindungi oleh negara, ada pula peraturan yang secara khusus mengatur mengenai
hewan/satwa yang dilindungi.
Peraturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU 5/1990”). Pasal 1
angka 5 UU 5/1990 memberikan definisi mengenai satwa, yakni semua jenis
sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.
Kemudian, Pasal 20 ayat (1) UU
5/1990 menggolongkan jenis satwa, yang selengkapnya pasal tersebut
berbunyi:
“Tumbuhan
dan satwa digolongkan dalam jenis:
a. tumbuhan
dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan
dan satwa yang tidak dilindungi.”
Mengenai larangan perlakuan secara
tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2)
UU 5/1990 yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang untuk
a. menangkap,
melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan,
memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi
dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan
satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan,
menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang
dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut
atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia;
e. mengambil,
merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau
sarang satwa yang dilindungi.”
Sanksi pidana bagi orang yang
sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) tersebut adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2) UU 5/1990.
Sedangkan untuk dapat atau tidaknya
Anda menuntut orang yang melakukan penganiayaan terhadap hewan, hal ini dapat
saja dilakukan akan tetapi dalam bentuk pelaporan. Anda dapat melaporkan suatu
tindak pidana penganiayaan terhadap hewan kepada kepolisian. Nantinya, pejabat
penyidik pegawai negeri sipil yang akan melakukan pemeriksaan atas kebenaran
laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan
kesehatan hewan (Pasal 84 ayat [2] huruf a UU 18/2009).
Dasar hukum:
Putusan:
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal. Politeia: Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar