Sabtu, 07 November 2015

Penyiksa Binatang dan Pasal Hukumnya


Pertanyaan :
Jerat Hukum Penganiaya Binatang
Saya awam, saya hanya melihat sebatas kulitnya saja. Menurut saya, sampai sejauh ini saya melihat pasal 302 sepertinya hanya menjadi pelengkap saja di KUHP, tidak ada tindakan nyata. Sekali lagi, ini menurut saya. Pertanyaannya, selain pasal 302 KUHP ini adakah pasal lain yang mengatur tentang satwa dan bagaimana penerapannya? Bisakah saya menuntut orang yang melakukan penganiayaan satwa dan bisakah saya mengambil alih hewan tersebut jika hewan tersebut menderita/stress/sekarat? Mohon bantuannya. Maaf jika sedikit membingungkan. Terima kasih banyak.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

 Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya agar jelas kita menyimak terlebih dahulu bunyi Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan
1.    barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;
2.    barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
(4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.”
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat (1) ialah kejahatan penganiayaan enteng pada binatang. Untuk itu harus dibuktikan bahwa:
Sub 1:
  1. orang itu sengaja menyakiti, melukai, atau merusakkan kesehatan binatang
  2. perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan
Sub 2:
  1. sengaja tidak memberi makan atau minum kepada binatang
  2. binatang itu sama sekali atau sebagian menjadi kepunyaan orang itu atau di dalam penjagaannya atau harus dipeliharanya
  3. perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan

Soesilo juga menambahkan, perbuatan seperti memotong ekor dan kuping anjing supaya keliahatan bagus, mengebiri binatang dengan maksud baik yang tertentu, mengajar binatang dengan memakai daya upaya sedikit menyakiti pada binatang untuk circus, mempergunakan macam-macam binatang untuk percobaan dalam ilmu kedokteran (vivisectie) dsb. itu pada umumnya diizinkan (tidak dikenakan pasal ini), asal saja dilakukan dengan maksud yang patut atau tidak melewati batas yang diizinkan. Tentang hal ini bagi tiap-tiap perkara harus ditinjau sendiri-sendiri dan keputusan terletak kepada hakim. Namun jika perbuatan tersebut mengakibatkan hal-hal yang tersebut dalam ayat (2), maka kejahatan itu disebut “penganiayaan binatang” dan diancam hukuman lebih berat.

Dari penjelasan R. Soesilo tersebut, dapat kita ketahui bahwa hewan yang dimaksud dalam KUHP adalah hewan pada umumnya, dalam arti bukan hewan/satwa yang dilindungi oleh negara. Dalam cerita Anda, Anda tidak menjelaskan mengenai hewan apa yang dimaksud. Oleh karena itu, kami perlu membuat asumsi bahwa hewan tersebut bukanlah hewan yang dilindungi oleh negara seperti yang dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”) beserta lampirannya.

Jika memang hewan tersebut bukan hewan yang dilindungi negara, maka pada dasarnya undang-undang di Indonesia mewajibkan setiap orang untuk melakukan pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan, demikian bunyi Pasal 66 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU 18/2009”).

Berpedoman pada bunyi Pasal 66 ayat (2) UU 18/2009 itu, maka jika memang hewan tersebut adalah bukan hewan yang dilindungi oleh negara, Anda dapat memelihara hewan tersebut jika ia menderita stress atau sekarat seperti dalam cerita Anda. Jadi, Anda perlu melihat lagi apakah hewan tersebut merupakan satwa yang dilindungi atau tidak karena tidak semua orang dapat begitu saja mengambil alih dalam merawat atau memelihara satwa yang dilindungi tersebut. Selain itu, perlu diperhatikan pula bagaimana prosedur pengangkatan/adopsi hewan jika memang hewan yang mau Anda ambil alih pemeliharaannya itu adalah hewan milik orang lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menjawab pertanyaan Anda yang lainnya mengenai tindakan nyata dalam penerapan pasal ini, kita dapat melihat kasus yang terdapat pada Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 215K/Pid/2005. Dalam putusan ini disebutkan bahwa terdakwa menggantung dan mengikat kencang leher seekor sapi ke sebuah pohon coklat hingga sapi tersebut mati. Perbuatan terdakwa diancam sesuai Pasal 302 ayat (2) KUHP. Namun fakta yang terungkap di persidangan adalah perbuatan terdakwa diluar kemampuannya karena terdakwa adalah orang kurang waras sehingga tidak mampu berpikir secara baik sehingga Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tetapi oleh karena terdakwa adalah orang kurang waras, maka sesuai ketentuan Pasal 44 KUHP tidak dapat dijatuhi pidana tetapi terdakwa dilepas dari tuntutan hukum (lebih lanjut mengenai penerapan Pasal 44 KUHP ini, Anda bisa menyimak artikel Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana?)

Melihat kasus tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa penegakan hukum Pasal 302 KUHP dilaksanakan oleh penegak hukum. Jadi, hal ini kiranya cukup untuk menepis anggapan Anda bahwa Pasal 302 “hanya menjadi pelengkap saja di KUHP.” Pasal 302 KUHP bukanlah hanya sebagai pelengkap saja, melainkan juga merupakan pedoman dalam memperlakukan hewan secara wajar.

Terkait dengan pertanyaan Anda lainnya tentang apakah ada aturan di luar KUHP yang juga mengatur mengenai satwa, mengenai hal ini kita dapat melihat ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) UU 18/2009, yang berbunyi:
“Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.”

Kepentingan kesejahteraan hewan yang dimaksud dalam pasal tersebut salah satunya meliputi (lihat Pasal 66 ayat [2] huruf c UU 18/2009):
“Pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan;”

Dalam Penjelasan Pasal 66 ayat [2] huruf c UU 18/2009 disebutkan:

Yang dimaksud dengan “penganiayaan” adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memperlakukan hewan di luar batas kemampuan biologis dan fisiologis hewan, misalnya pengglonggongan sapi.

Yang dimaksud dengan “penyalahgunaan” adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan memperlakukan hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan peruntukan atau kegunaan hewan tersebut, misalnya pencabutan kuku kucing.

Peraturan lainnya mengenai perlakuan hewan secara wajar juga diatur lebih khusus dalam Pasal 92 Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan (“UU 95/2012”) yang berbunyi:

“Setiap orang dilarang untuk:
a.    menggunakan dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan kodratnya yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan, keselamatan, atau menyebabkan kematian Hewan;
b.    memberikan bahan pemacu atau perangsang fungsi kerja organ Hewan di luar batas fisiologis normal yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau menyebabkan kematian Hewan;
c.    menerapkan bioteknologi modern untuk menghasilkan Hewan atau produk Hewan transgenik yang membahayakan kelestarian sumber daya Hewan, keselamatan dan ketenteraman bathin masyarakat, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
d.    memanfaatkan kekuatan fisik Hewan di luar batas kemampuannya; dan
e.    memanfaatkan bagian tubuh atau organ Hewan untuk tujuan selain medis.”

Dari beberapa peraturan yang kami sebutkan di atas yang pada umumnya mengatur mengenai hewan yang tidak dilindungi oleh negara, ada pula peraturan yang secara khusus mengatur mengenai hewan/satwa yang dilindungi.

Peraturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU 5/1990”). Pasal 1 angka 5 UU 5/1990 memberikan definisi mengenai satwa, yakni semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.

Kemudian, Pasal 20 ayat (1) UU 5/1990 menggolongkan jenis satwa, yang selengkapnya pasal tersebut berbunyi:
“Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
a.    tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b.    tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.”

Mengenai larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang berbunyi:
 “Setiap orang dilarang untuk
a.    menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b.    menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c.    mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.    memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.    mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”

Sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) tersebut adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2) UU 5/1990.

Sedangkan untuk dapat atau tidaknya Anda menuntut orang yang melakukan penganiayaan terhadap hewan, hal ini dapat saja dilakukan akan tetapi dalam bentuk pelaporan. Anda dapat melaporkan suatu tindak pidana penganiayaan terhadap hewan kepada kepolisian. Nantinya, pejabat penyidik pegawai negeri sipil yang akan melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan (Pasal 84 ayat [2] huruf a UU 18/2009).

Dasar hukum:

Putusan:

Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
Bottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog